Travelling

Exploring Indonesian's magnificent places is my passion

Mountain Bike

The most exercise I did during my free time

Photography

To capture the beauty of the places I've visited

Culinary

The other reason why I love to go traveling

Engineering

Because big dreams never come so easy

Moto-Adventure

Graze the road and enjoy the adventure from each and every miles

Eksotisme Flobamora, Jelajah Flores, Kembali ke Masa Kecil (Part 5/7)

Sejuk dan Dinginnya Bajawa

Siang itu setelah makan siang, kami berpisah dengan Pak Steven, guide Waerebo di desa Denge untuk melanjutkan perjalanan ke Timur. Dengan formasi mobil yang sama, kami melaju melalui jalan kemarin hingga ketemu lagi pertigaan Jalan Trans Flores (simpang Labuan Bajo & Ruteng). Tujuan kami yaitu Bajawa dimana kami akan bermalam disana..

Kampung adat Megalitikum Bena
Pemandangan Kampung Adat Bena Dari Pintu Masuk

Sebelum melalui Kota Ruteng, kami mampir sebentar ke Sawah Jaring Laba-Laba di Desa Cancar. Sawah ini unik jika dilihat dari atas, karena akan membentuk seperti jaring laba-laba. Sawah ini terbentuk karena pengairan sawah berasal dari pusat mata air yang berada di tengah, yang seolah-olah menjadi di pusat jaring laba-laba nya. Awalnya kavling sawah hanya sedikit di sekitar mata air nya saja, namun kelamaan karena penduduk makin banyak, kavling sawah bertambah dan bertambah di lingkar luar sawah yang ada sebelumnya, sehingga terbentuklah pola seperti jaring laba-laba. Hal ini berbeda dengan persawahan di Jawa, dimana pengairan bersumber dari saluran irigasi yang berasal dari sungai. Karenanya bentuk sawah cenderung kotak-kotak dan berundak-undak, atau istilahnya terasering.

Sawah berpola jaring laba-laba di Desa Cancar, Bajawa

Menjelang sore kami melanjutkan perjalanan melewati Kota Ruteng ke Bajawa. Kota Ruteng ini bisa dibilang modern karena sudah banyak pusat perbelanjaan dan jalannya dan kotanya tertata rapi. Disini kami istirahat sebentar di minimarket untuk membeli bekal cemilan serta shalat Ashar. Saya yang sudah kembali lapar, akhirnya membeli ayam goreng krispy pinggir jalan lengkap dengan nasinya untuk dimakan di dalam mobil. Perjalanan kemudian dilanjutkan dan kami menyusui jalan Trans Flores lagi segmen Ruteng ke Bajawa. Sudah mulai malam saat itu dan diputuskan untuk istirahat sholat magrib di warung pecel lele dan ayam pinggir jalan. Jalan ini saya kasih jempol deh soalnya sepanjang jalan tidak ketemu lubang satupun. Bahkan ada pekerjaan pengasapalan jalan ya.. pengaspalan aja, tidak kelihatan titik-titik perbaikan lubang aspal di jalan. Mungkin karena daya dukung tanah yang kuat (tanah flores dominan batuan karang), serta berpori, dimana genangan air sangat minimum, serta belum ada industri perusahaan atau rakyat yang menggunakan angkutan berat maka jalan bisa awet.

Hotel tempat kami menginap di Kabupaten Ngada

Setelah makan malam kami lanjutkan perjalanan dan hampir tengah malam kami tiba di Hotel Bintang Wisata, Bajawa. Hotel yang bentuknya U ini, lebih mirip homestay atau kos-kosan ketimbang hotel. Udara Bajawa bisa dibilang sangat dingin, udara berkabut.. dinginnya bisa dibilang ngalahin Lembang di Bandung. Saya saja yang sudah pakai jaket masih berasa kedinginan sampai gigi gemeretak. Malam itu tanpa ba-bi-bu setelah pembagian kamar, langsung mandi air hangat, shalat isya, dan tidur dengan pulas. Capek badan setelah turun waerebo dan naik-naik bukit di Cancar lumayan terasa.



4 Juni 2015. Gunung Inerie, Kampung Adat Bena dan Sungai Air Panas Alami Malanange.

Di Bajawa, pagi harinya hotel menyediakan sarapan nasi goreng dan teh manis. Udara pagi itu biasa aja ngga dingin kaya semalam. Kami berleha-leha karena tujuan berikutnya yaitu Kampung Adat Bena, lokasinya dekat dari sini. Di akhir hari katanya akan disempatkan mandi air panas buat menghilangkan rasa lelah yang bertumpuk sejak LOB Lombok – Labuan Bajo. Sekitar jam 10 kami berangkat ke selatan menuju Bena. Di Kota Ruteng ada petunjuk arah menuju Riung jika menuju ke utara. Sayangnya taman laut Riung 17 Pulau, tidak masuk ke itinerari kami. HUTANG!!

Kampung adat megalitikum Bena, Kabupaten Ngada
Kampung Bena Berada Di Kaki Gunung Inerie Yang Terlihat Jelas Di Belakang

Perjalanan menuju Bena mirip-mirip dengan perjalanan menuju waerebo, namun dengan infrastruktur yang jauh lebih maju. Papan-papan petunjuk jalan dan jalan yang rapi dan tertata apik mencerminkan bahwa daerah ini memang sudah didesain menjadi daerah wisata. Menjelang kampung Bena, saya terpukau dengan gunung menjulang tinggi di depan, berbentuk kerucut sempurna dan jelas terlihat karena tidak tertutupi awan. Gunung berbentuk kerucut biasanya adalah gunung berapi aktif, dan ketidak sempurnaan di pucuknya menandakan seberapa sering gunung tersebut erupsi dan meninggalkan kawah.

Perjalanan ke Kampung Bena disambut pemandangan Gunung Inerie

Gunung Inerie, saya lihat benar-benar kerucut sempurna yang seolah-olah gunung ini aktif namun belum pernah meletus sama sekali atau terjadi letusan besar yang mengubah bentukan puncaknya. Bisa dibilang gunung perawan kali yak? (Ha ha ha). Sopir menghentikan laju mobil karena saya kelihatan terpana oleh gunung ini dan mempersilakan saya untuk turun dan melihat lebih jelas. Benar-benar gunung yang cantik, kerucut sempurna menjulang tinggi sekitar 2,200an mdpl dan hampir tidak ada vegetasi pohon tinggi sama sekali. Benar-benar menggelitik saya untuk mencoba mendakinya.

Gunung Inerie kadang tertutup topi awan


Sopir menceritakan anak-anak Mapala di Flores selalu menjadikan gunung ini salah satu list perjalanannya. Tantangan di gunung ini adalah air, karena tidak ada sumber air sama sekali di atas, serta sering terjadi badai petir dimana di atas sana sama sekali tidak ada tempat berlindung dan kita adalah titik tertinggi yang paling potensial tersambar petir jika berdiri. Yang bisa dilakukan hanya berbaring dan berdoa (seram juga sih ini kalo bener kejadian). Tapi bisa dibilang : HUTANG!! Next time saya mau kesini sekalian Riung 17 Pulau.

Jika tidak tertutup awan, bentuknya yang kerucut sempurna membuat Gunung Inerie seperti piramida

Kami melanjutkan perjalanan ke Desa Adat Bena. Desa ini sudah masuk ke Kabupaten Ngada, bukan Bajawa lagi. Desa ini terkenal karena budaya megalitikum nya masih tersisa dan masih dilakukan. Batu-batu besar dari Gunung Inerie menjadi asal dari struktur-struktur budaya megalitikum disini. Batuan tangga; rumah pun kebanyakan juga berasal dari susunan batu-batuan , dinding kayu, dan beratap ijuk atau jerami dimana beberapa ada hiasan semacam tanduk kerbau mirip di toraja, termasuk batu-batu makam di tengah alun-alun. Di alun-alun sendiri saat itu banyak jemuran biji kopi beralas terpal. Aktifitas siang itu kebanyakan adalah menenun. Di beberapa rumah ada digantung tenun ikat khas Timor, berwarna-warni serta mama-mama yang menjualnya sambil mengunyah sirih. Saya lihat juga ada yang masih proses menenun dengan suara alat tenunnya.. seperti klak..klak..klak.. tidak lama disini kami menuju desa adat satu lagi yang saya lupa namanya, namun saat itu saya tidak masuk ke dalam karena tampak biasa saja mirip dengan kampung Bena namun lebih kecil luasnya.

Budaya megalitikum terlihat dari altar yang terbuat dari batu-batu besar Gunung Inerie
Terlihat Kain-Kain Tenun Ikat Tergantung Di Rumah-Rumah Warga Untuk Dijual
Biji Kakao Yang Dijemur Sebagai Hasil Berkebun Warga
Selain Biji Kakao, Juga Dijemur Potongan Sirih Enau

Saat yang dijanjikan tiba, akhirnya sore itu kami diantar ke Wisata air panas Malanange, sekitar 30 menit dari Bena. Lokasinya di desa Naruwolo. Sebenarnya ada satu Wisata air panas yang lebih dikenal oleh turis asing yang biasanya menjadi paket wisata ke Kampung Bena, yaitu kolam air panas Soa di Mangeruda. Namun air panas Malanange ini jauh lebih panas dan alami, karena berupa sungai alami bukan kolam tampungan mata air panas.

Sumber air panas langsung dari perut Gunung Inerie, sangat lanas tidak bisa dipakai mandi, bahkan bisa merebus telur disini

Disini air panas dari perut gunung berapi Inerie dengan debit besar keluar membentuk sungai dan bertemu dengan sungai Jerubuu. Titik pertemuan tersebut, dimana air panas yang panasnya bisa untuk merebus telur, bertemu dengan sungai berair dingin khas pegunungan, menghasilkan sungai air panas yang pas hangat untuk berendam. Lokasi sungai ini juga tidak jauh dari jembatan dan tepian jalan. Namun obyek wisata ini masih dibiarkan alami, bahkan untuk ganti baju ada bilik gubukan dan di atas jalan ada kamar mandi umum untuk membilas. Lha kan airnya bersih dan alami, ngapain bilas lagi yak? Hihihi.

Sungai pemandian air panas ini merupakan campuran sungai air panas dari perut Gunung Inerie dan aliran Sungai Jerubuu

Di sungai ini ada kelompok turis asing dimana yang pria menggunakan celana pendek saja (ada yg pakai celana dalam pula).. nah yang wanita.. jeng ieng jeng, pakai bikini 2 pieces. Biasa aja sih.  Woles aja.. disitu saya diketawain gara-gara pakai manset tattoo, dimana sebelumnya bule-bule itu ngira tattoo beneran. Lah wong saya pake supaya kulit nggak kebakar akibat panasnya matahari flores.  Tapi tetep aja kebakar sih.. emang sunblock bukan kebutuhan yang bisa ditawar disini. Saya pakai celana pendek saja.. termasuk zhafir, wuki dan hendra. Sedangkan Rima dan temannya tidak ikut berendam. Beneran deh, berendam disitu, capek letih lelah luntur semua. Disitu bukan hanya hangatnya air, tapi kombinasi arus sungainya seperti memijat-mijat badan. Apalagi ada air terjun mini dari batu-batuan di sungai, untuk yang mau dipijat lebih keras hahaha. 

Dari Malanange kami melanjutkan perjalanan ke Ende, dengan tujuan utama Danau/Gunung Kelimutu. Di Ende kami akan menginap semalam sebelum trekking pada pagi harinya.


-bersambung-

Gallery :












Eksotisme Flobamora, Jelajah Flores, Kembali ke Masa Kecil (Part 4/7)

Sore itu di dermaga Labuan Bajo, rombongan yang hanya ikut LOB dan yang lagi Honeymoon di Labuan Bajo, berpisah dengan kami yang akan berangkat overland Flores. Rencana awalnya kami akan melakukan perjalanan malam lalu menginap di rumah pastor seperti asrama/homestay di suatu gereja di kaki waerebo, dimana mobil sewaan direncanakan berangkat pada malam ini. Namun karena dasarnya kami masih kecapekan setengah mati serta ada agenda mendaki ke waerebo yang juga bakal menguras tenaga, rombongan overland flores meminta agar bisa tidur dengan efisien malam ini, jadi opsi perjalanan malam atau tidur di mobil dibatalkan. Karena perubahan ini, kami harus mencari hotel menginap dengan biaya masing-masing. Wuki selaku tour leader untungnya fleksibel dan mengatur kembali mobil sewaannya. Jadi perjalanan ke waerebo akan dilakukan besok pagi nya. Sepagi mungkin.

Waerebo di pagi hari bersama Saya, Hendra dan Zhafir

1 Juni sebenarnya adalah tanggal merah, di hari senin untungnya jadi hotel tidak ada yg penuh. Namun supaya berangkat bisa efisien, kita mencoba mencari hotel yang ramah di kantong dan bisa menampung semua anggota overland. Namun sayangnya beberapa anggota akhirnya harus terpisah juga dan kita janjian harus packing dan siap berangkat sepagi mungkin.

Jalan belokan Trans Flores di tanjakannya, terlihat Labuan Bajo di bawahnya

Mendaki ke Kampung Adat Waerebo

Pada pagi harinya, 2 Juni 2015, sesuai rencana, saya sudah siap berangkat karena minim packing. Kebanyakan bongkar-bongkar ransel tadi malam utamanya menyelamatkan piranti kamera dan hp saya agar baterainya terisi penuh. Tidak lupa memindahkan isi memory card ke hp agar memori di kamera lebih lowong. Setelah sarapan, saya, zhafir, hendra dan wuki sudah mejeng di pinggir jalan labuan bajo. Karena hari kerja, kondisi jalan ini, mungkin kalau lagi musim liburan atau ramai bisa kaya jalan legian di Bali. Kita menyisir jalan cari sarapan, dan tetap nggak ketemu satupun. Akhirnya kita dapat warung indomie dan sarapan. Sekalian membeli perbekalan di mimimarket untuk bekal cemilan di jalan karena jarak ke waerebo bisa 5-6 jam perjalanan dari Labuan Bajo. Peserta overland sudah kumpul, 2 mobil avanza tiba, dan pembagian mobil dilakukan. Saya dan hendra adalah yang badannya bongsor jadi pasti di kursi depan. Sisanya di kursi tengah bertiga dan kursi belakang dan atap untuk tas dan barang-barang. Perjalanan dimulai pukul 09:00 waktu setempat.

LOVE from Waerebo

Jalan menuju waerebo benar-benar kontras dengan Labuan Bajo. Yang saya kira akan melewati jalanan lurus dan panjang di sisi tebing pantai, ternyata melewati jalur tengah dimana dominan jalan pegunungan, sawah dan perkampungan. Ini adalah jalan utama (Jalan Trans Flores) dari Labuan Bajo ke Ruteng. Dari Jl.Ruteng ada pertigaan kami ke arah selatan menuju Satar Lenda, ketemu laut (patokan ada terlihat Pulau Mules di kiri jalan) lalu belok ke utara ke Satar Mese sampai ke desa Denge. Tidak lupa mampir dulu membeli makan siang di pasar Satar Mese, dimana saya beli ikan bakar/asap. Kata Wuki, Guide Waerebo sudah menyiapkan makan siang di kaki gunung. Sudah sore saat itu dan kami baru tiba di Gereja St.Petrus dan Paulus  di desa Denge kaki gunung Waerebo. Tadinya kami akan menginap di rumah singgah gereja tersebut (atau homestay Blasius Monta) namun tidak jadi karena kami sudah kelelahan di Labuan Bajo. Setelah makan siang, jam 4 kami mulai mendaki waerebo, kampung adat yang diakui sebagai warisan UNESCO. Saya maju duluan bersama guide di depan dan guide lainnya di belakang membawa tim perempuan. Saya, zhafir, wuki dan Hendra menjadi rombongan paling depan duluan. Pendakian saat itu 5 jam karena medan menjadi berat licin sehabis hujan. Selain itu banyak pacet yang kami bersihkan dengan air rendaman puntung rokok. Pendakian juga melewati petang dan jam 9 malam kami sudah tiba di pos kentongan. Disini guide yang akan memukul kentongan yang menandakan ada tamu yang akan berkunjung. Setelah itu perwakilan adat dari kampung akan menemui kami di pos tersebut dan akan memberi tahu apakah kami diterima atau tidak untuk berkunjung.

Perjalanan ke Waerebo akan melewati pantai selatan Flores yang berbatu

Sebenarnya hal ini hanya formalitas karena kita sudah koordinasi dengan guide setempat sebagai pihak yang mengundangnya dan akan menampung kami di rumahnya. Setelah tim terkumpul semua, guide memukul kentongan dan kami dijemput oleh perwakilan dari ketua adat. Kami dibawa menuju rumah ketua adat beserta semua barang bawaan kami. Kami menemui ketua adat dan diadakan upacara penerimaan tamu. Kami seperti diberi mantra-mantra dan kami memberikan hadiah simbolik kepada ketua adat. Disana kami dijamu segelas kopi yang ternyata memang dibudidayakan disini secara adat. Jujur kopi tersebut enak sekali hingga membuat saya berniat untuk membawa biji kopi sangrainya untuk oleh-oleh. Setelah upacara penerimaan tamu selesai kami dibawa guide ke rumahnya untuk menginap. Rumah guide ini sama dengan rumah-rumah di waerebo pada umumnya yaitu berbentuk lingkaran dari batu yang ditumpuk-tumpuk lalu dilapisi dengan sekam, lalu ditutup atap kerucut yang tinggi yang juga terbuat dari ijuk enau dan rangka bambu rotan. Di bagian tengah ruangan ada tungku besar untuk memasak dan untuk api penghangat karena waerebo itu berada di ketinggian 1,200 mdpl jadi udaranya dingin. Kamar mandi tersedia di luar rumah berupa bangunan tembok permanen yang beratapkan seng serta sudah ada listriknya untuk lampu.

Hanya rumah tamu yang diberi listrik/lampu, rumah lainnya menggunakan perapian sebagai penerangan rumah
Guide memberi kami makan malam dan setelah menyantap makan malam, beberapa rekan beristirahat. Saya, zhafir dan hendra memutuskan untuk nongkrong dulu di luar menikmati udara bersih pegunungan sambil melihat bintang. Karena disini tidak ada cahaya lampu rumah, langit terasa sangat berbeda. Jernih dan terbuka luas. Di tengah-tengah lapangan ada semacam altar dimana kami sudah diberi peringatan tidak melakukan di lokasi tersebut karena lokasi tersebut disakralkan. Sekitar tengah malam akhirnya kami tidak bisa menahan kantuk dan udara yang semakin dingin. Akhirnya kembali ke dalam rumah singgah tersebut. Meskipun hanya diberikan alas tidur seadanya, mungkin karena lelah dan udara dingin, kami semua tidur nyenyak di dalam rumah tersebut melingkari perapian di tengah-tengah rumahnya. Tidak lupa saya memesan 1 kg kopi arabika, 1 kg robusta dan 1 kg columbia, varietas kopi yang ditanam disini, kepada guide lokal selaku tuan rumah yang menjamu kami. Kata beliau, roasting akan dilakukan pada dini hari. Sebenarnya kalau doyan roasting di rumah, bisa memesan versi green bean nya.

Ruangan di dalam rumah tamu, tidur akan beralaskan tikar dan kasur lipat serta selimut tipis, melingkari perapian di tengah ruangan, jika perlu bawa sleeping bag sendiri

Pagi harinya, kami mengumpulkan anak-anak karena kami sudah mengumpulkan buku-buku bacaan anak, pelajaran, dan mainan untuk anak-anak di waerebo. Ini inisiatif salah satu peserta yang diteruskan oleh tour leader ke semua peserta overland. Tampak kebahagiaan di wajah mereka karena untuk bersekolah mereka turun gunung ke rumah singgah gereja di kaki gunung dan menginap disana atau sanak keluarganya jika ada. Jumat sore mereka kembali naik gunung dan kembali turun di minggu sore. Ini kalo istilah pekerja di Jakarta adalah PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). Anak-anak usia belum sekolah masih tinggal dan bermain di atas gunung waerebo. Kebayang kan, mainan dan buku bacaan bukan hal yang mudah didapatkan disini.

Anak-anak Waerebo dikumpulkan untuk dibagi buku-buku bacaan dan mainan

Yang juga menarik perhatian saya adalah mereka berkebun kopi dan mengolahnya secara tradisional atau adat. Karena secara tradisional, kopi tersebut dipanen pada saat tertentu saja dan dipetik manual tanpa ada target produksi. Artinya biji kopi yang diipetik adalah biji kopi dengan kualitas terbaik. Ini terbukti ketika pagi hari saya tracking ke arah sungai, kebun-kebun kopi sudah penuh dengan biji kopi yang sudah matang/merah namun belum dipetik. Ketika saya tanyakan, kopi tersebut baru dipetik pada masa-masa tertentu saja. Tidak terkecuali ada kotoran luwak (potensi kopi luwak) yang tidak diambil atau diolah masyarakat sekitar, mungkin karena ketidaktahuan masyarakat tentang potensi ekonomi kopi luwak, apalagi kopi luwak alami atau non-ternakan. Lapangan rumput di antara rumah-rumah dipasangi terpal dan para penduduk mulai menjemur biji kopi. Sementara para pria berkebun atau berladang, atau turun gunung untuk berdagang. Khusus berdagang, hasil bumi pegunungan dijual untuk membeli beras, garam, dan ikan asin atau hasil laut yang diawetkan.

Peraturan bagi tamu yang menginap di Waerebo

Menjelang siang, kami packing bersiap turun gunung. Kami berpamitan dengan tuan rumah dan tidak lupa 3 kantong kresek hitam penuh biji kopi sangrai pesanan saya diserahkan saat itu juga. Karena sudah hapal jalurnya, saya dan zhafir melaju duluan trail run hitung-hitung olahraga pagi. Yang tadinya perjalanan naik dengan waktu 4-5 jam, perjalanan turun saya tempuh kurang dari 2 jam. Berkat sepatu khusus trail run yang saya pakai, jalan turun tanah liat becek yang licin bisa saya libas dengan mantap. Bahkan di jalur yang harus menyebrangi sungai, saya malah berhenti sebentar untuk mencuci sepatu yang penuh dengan tanah liat. Sepatu basah saya jemur dengan digantungkan di sisi kiri kanan ransel lalu saya lanjutkan perjalanan di medan batu makadam dengan sendal gunung. Pukul 12 saya tiba di titik parkir mobil dan mulai memuat kembali ransel saya ke dalamnya. Sedangkan makan siang ternyata sudah disiapkan yaitu nasi goreng dan telur. Namun kami menunggu semua kumpul untuk menikmati hidangan tersebut. Setelah ini perjalanan kami lanjutkan terus ke sisi timur untuk menuju Bajawa.


-bersambung-

Gallery :